Start here

INFO: Kami pindah ke demokrasidigital.net

Kawan-kawan,

Mulai Desember 2014, blog yang merekam aktivitas Forum Demokrasi Digital sudah dipindahkan ke demokrasidigital.net

Media Sosial Membuat Dunia Lebih Demokratis

Media sosial memungkinkan gerakan protes baru lahir tanpa ada pemimpin atau organisasi formal, setidaknya ketika dimulai.

Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya 21 Maret 2006 Jack Dorsey, sekarang chief executive Twitter menulis: Just setting up my twttr. Sepuluh tahun kemudian Twitter dengan pengguna sebanyak 320 juta per bulan  mengirim ratusan juta tweet per hari. Twitter adalah bagian dari revolusi komunikasi yang lebih luas. Kini setiap orang bisa mengatakan apa saja yang disukai atau tak disukainya melalui media sosial seperti Twitter untuk membantu dunia lebih demokratis dari sebelumnya.

Skeptisisme awal tentang dampak politik dari media sosial telah memudar. Dengan munculnya smartphone, aplikasi messaging dan layanan video streaming, Twitter dan platform sosial lainnya telah menjadi pusat untuk semua jenis tindakan kolektif. Media sosial ini membuat orang cepat menemukan satu sama lain. Media sosial membuatnya mudah untuk menyampaikan pesan dan memobilisasi massa. Media sosial memungkinkan gerakan protes baru lahir tanpa ada pemimpin atau organisasi formal, setidaknya ketika dimulai.

Semua ini harus disambut. Twitter dan media sosial lainnya telah membuat dunia menjadi tempat yang lebih demokratis. Mereka memberi suara dan kekuatan untuk mereka yang tidak memiliki apa-apa, tidak hanya di negara-negara otokratis.

Namun teknologi tidak pernah murni baik atau buruk, teknologi selalu memotong ke dua arah. Media sosial juga memfasilitasi jenis aktivisme yang lebih merisaukan, yaitu kelompok xenophobia di Jerman dan ISIS yang keduanya sangat ekstensif menggunakan platform media sosial. Dan bahkan ketika media sosial mendemokrasikan gerakan politik, data yang ada di media sosial juga dapat memusatkan kekuasaan dengan cara-cara yang merusak.

Kampanye online membuat jejak digital besar yang dapat dianalisis sering secara real time. Twitter adalah contoh yang baik untuk hal tersebut. Mereka yang memiliki akses ke jutaan tweet dapat memetakan jaringan aktivis, menganalisis apa yang mereka bicarakan dan mengidentifikasi siapa yang paling berpengaruh. Banjir informasi digital adalah tambang emas bagi badan-badan intelijen terutama, untuk rezim-rezim otokratis. Keduanya dapat menggunakan media sosial sebagai alat untuk pengawasan.

Akses ke data juga dapat memusatkan kekuasaan di tangan entitas swasta. Kampanye politik, khususnya di Amerika, telah lama memanfaatkan data pemilu untuk mengidentifikasi pendukung yang membutuhkan dorongan untuk memilih atau yang mungkin diyakinkan untuk mengubah pikiran mereka. Berkat media sosial, pemilih sekarang dapat ditargetkan semakin presisi.

Facebook, misalnya, memungkinkan organisasi politik untuk mengupload daftar pemilih dan menyuntikkan iklan yang disesuaikan ke newsfeeds mereka. Hal ini akan memperburuk polarisasi politik dengan menjauhkan pemilih dari pandangan politik yang berbeda. Membuat pemilih terkotak-kotak sehingga merasa mereka selalu pada pandangan yang benar yang pada akhirnya melahirkan gerakan yang menentang demokrasi itu sendiri.

Sumber: The Economist

Demokrasi | Opini Bonnie Triyana

Mengapa demokrasi harus tetap dipertahankan di negeri ini?

image

PADA 1959 Presiden Sukarno membubarkan Konstituante sekaligus menandai berakhirnya demokrasi parlementer dan mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi. Kabarnya presiden merasa jengah setelah lebih dari tiga tahun, Konstituante tak kunjung mencapai kata sepakat. Kepentingan presiden bermuara ke kepentingan yang sama dengan kelompok militer, yang telah lebih dahulu kurang begitu nyaman berhubungan dengan politisi sipil.

Pada 17 Oktober 1952, sekelompok kecil tentara mengarahkan moncong meriam ke arah Istana Merdeka. Mereka geram atas ulah para politikus di Parlemen yang dianggap merecoki urusan internal militer. Kabar yang beredar, ada rencana untuk mereorganisasi sekaligus mengurangi anggaran tentara demi efisiensi. Versi lain, ini intrik politik persaingan antar partai.

Maka demi menciptakan kestabilan politik, Sukarno kemudian datang dengan ide Demokrasi Terpimpin. Sebagaimana Pancasila, ide itu pun diakuinya berdasarkan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Indonesia: musyawarah untuk mufakat. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan TV Belanda, dia mengatakan, “Demokrasi terpimpin bukanlah sebuah kediktatoran, demokrasi terpimpin adalah demokrasi dengan kepemimpinan.”

Ada semacam trauma berkepanjangan (yang mungkin sengaja dibuat-buat) pada era Demokrasi Parlementer yang dimeriahkan oleh puluhan partai itu. Soeharto, dalam sebuah kesempatan lain, pada masa kepresidenannya pernah mengatakan bahwa demokrasi dengan tiga partai itu lebih efisien ketimbang masa demokrasi parlementer di era 1950-an. Banyak partai menurutnya menciptakan ketidakstabilan dan tentu saja tak sesuai dengan kepribadian bangsa.

Benarkah demokrasi parlamenter dengan banyak partai seburuk itu? Apakah demokrasi yang seringkali ditandai oleh kegaduhan itu membawa petaka semata? Ilmuwan politik Afan Gaffar dalam bukunya Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi mencatat ada lima hal yang membuat masa demokrasi parlementer (1950-1959) dihitung sebagai masa kejayaan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Pertama, parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik. Ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tak percaya kepada pemerintah. Kedua, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa sebagai alat kontrol sosial.

Ketiga, kehidupan kepartaian yang memiliki peluang untuk berkembang secara maksimal. Ada hampir 40 partai yang memiliki otonomi untuk mengembangkan dirinya, mulai dari rekrutmen anggota sampai dengan memiliki ketuanya sendiri. Keempat, Pemilu hanya sekali dilaksanakan namun berkualitas, mulai dari pelaksanaan kampanye, pengawasan sampai dengan pemilihan. Kelima, tak ada pembatasan atas hak dasar masyarakat untuk berserikat dan berkumpul. Ide politik apapun leluasa berkembang.

Pertanyaannya, mengapa demokrasi yang tengah bertumbuh-kembang itu bubar jalan? Herbert Feith bilang itu terjadi karena ada dua gaya kepemimpinan elit yang saling bertabrakan, antara solidarity maker versusadministrator. Tapi sejarawan Harry Benda membantahnya dengan melontarkan pertanyaan lebih mendasar lagi dari sekadar kenapa demokrasi bisa gagal, melainkan mengapa ada demokrasi di Indonesia?

Kritik Benda pada Feith berpusar pada konsep legitimasi kekuasaan. Sebagai negara pascakolonial, Indonesia mewarisi bentuk negara kolonial dengan politik aliran yang masih kental. Sehingga para administratur yang diharapkan bisa memecahkan problem-problem keseharian justru tak punya basis kekuasaan yang jelas bila dibandingkan dengan para penggalang solidaritas, seperti Sukarno misalnya.

Tapi apakah pertanyaan itu masih relevan bila diajukan sekarang, pada hari-hari di saat demokrasi yang mirip-mirip situasi era 1950-an sedang berlaku? Pemerintahan di masa lalu yang bercorak otoritarianistik telah memberikan banyak pelajaran tentang arti penting berdemokrasi.

Boleh dikata situasi kekinian kita terbentuk oleh pengalaman-pengalaman kolektif di masa lalu. Sehingga agaknya pertanyaannya bukan lagi menyoal tentang kenapa demokrasi bisa ada di Indonesia, melainkan mengapa demokrasi harus tetap dipertahankan di negeri ini? Tentu ada banyak jawaban. Salah satunya: karena kita terlalu beragam untuk diseragamkan begitu saja.

Bonnie Triyana
Dimuat di Majalah Historia pada Jum’at 03 Juni 2016 WIB

Sumber: http://historia.id/kolom/demokrasi

Ramai Petisi Online “Stop Kebencian”, Ada Kasus Apa? – Kompas.com Tekno

JAKARTA, KOMPAS.com – Kehidupan dunia maya di Indonesia belakangan ini sedang resah. Sebuah status di Facebook yang diunggah oleh akun bernama Arif Kusnandar membuat dunia internet Tanah Air tiba-tiba bergejolak.

KompasTekno tidak akan menampilkan isi dari status tersebut. Akan tetapi, status ini berisikan hal-hal yang mengandung kebencian rasial dan diskriminasi terhadap satu golongan etnis di Indonesia, serta radikalisasi.

Berbagai reaksi pun mulai bermunculan, sejak status tersebut diunggah pada 22 Agustus 2015 lalu. Hanya dalam waktu singkat, status tersebut menyebar dengan cepat di media sosial karena isunya yang sangat sensitif.

Banyak yang menentang habis-habisan, tetapi tidak sedikit juga yang mendukung.

Namun, apapun itu bentuk dukungannya, menurut Forum Demokrasi Digital (FDD), isi status tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Si pembuat status bisa saja berkilah, apa yang dilakukannya merupakan salah satu bentuk dari kebebasan berpendapat. Akan tetapi, status tersebut banyak mengandung unsur kebencian rasial dan radikal. Itulah yang membuatnya berbeda dari konsep kebebasan berpendapat.

“Apabila pendapat digunakan untuk menyerang ras, itulah perbedaan (antara kebebasan berpendapat atau bukan). Kita tidak melarang menyampaikan pendapat, tapi jika digunakan untuk itu (kebencian rasial dan radikal), tidak bisa disebut sebagai kebebasan berpendapat,” ujar Damar Juniarto dari Safenet, yang juga anggota FDD, saat berbincang dengan KompasTekno di Jakarta, Rabu (26/8/2015).

Petisi di Change.org

Menanggapi segala polemik yang ada, FDD mendorong lahirnya petisi #StopKebencianRasial lewat Change.org. Isinya meminta pemerintah segera menangani penyebaran kebencian rasional, diskriminasi, dan radikalisasi di internet.

Dukungan para netizen untuk petisi tersebut pun sangat luar biasa. Kurang dari 24 jam setelah diadakan, petisi online ini sudah ditandatangani secara digital oleh lebih dari 26.000 pendukung. Target petisi itu sendiri adalah sebanyak 35.000.

“Setuju tidak ada penyebaran SARA. Negara kita negara Pancasila. Aneka ragam suku bangsa dan berbeda agama. Tapi tetap 1 bangsa, yaitu satu bangsa Indonesia,” tulis salah satu pembuat petisi.

Petisi ini sendiri akan dikirimkan ke beberapa lembaga pemerintah sekaligus, termasuk Komisi Hak Asasi Manusia; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Komunikasi dan Informatika; Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan; dan Kepolisian Republik Indonesia.

Cara kerja petisinya seperti ini, jika ada yang menandatangani secara digital, setiap lembaga yang dituju akan menerima e-mail mengenai petisi tersebut. Itu artinya, karena sudah ada 26.000 pendukung, tiap lembaga-lembaga yang dituju setidaknya sudah menerima masing-masing sebanyak 26.000 e-mail.

Mau tidak mau, lembaga-lembaga tersebut pasti akan membaca dan mulai mencari tahu ada masalah apa yang terjadi di dunia maya Indonesia. Harapannya, tentu saja tuntutan yang ada di petisi tersebut dilaksanakan.

Semoga saja, keresahan di dunia internet Indonesia segera reda.

http://tekno.kompas.com/read/2015/08/27/07413737/Ramai.Petisi.Online.Stop.Kebencian.Ada.Kasus.Apa.?utm_source=change_org&utm_medium=petition

Undangan Konferensi Pers Sikap Netizen atas Penyebaran Kebencian Rasial Diskriminasi dan Radikalisasi di Internet

Kawan-kawan yang baik,

Pada 22 Agustus 2015 di dinding statusnya seorang netizen pemilik akun facebook Arif Kusnandar menulis: “Jika Dollar tembus 15 ribu. Tanda tragedi 98 akan terjadi, siap-siap berburu babi CINA KEPARAT, sejarah akan berulang lagi. Jangan kecolongan kayak Mei 98. Jaga bandara dan garis pantai, karena Para Cina Keparat akan kabur lewat pintu itu. Warga kampung Pulo, Muara Baru yang dizholimi Cina, jika saat itu datang dan ratakan daerah Pluit daerah kediaman Ahok dan balaskan dendam kesumat kalian. Kita sembelih antek PKI dijalan-jalan.”

Dengan enteng ia mengajak orang untuk melakukan kekerasan berdasar kebencian rasial. Namun Arif Kusnandar ini tidak sendiri. Ia hanyalah satu dari sekian banyak hal serupa, yang jika didiamkan maka akan menjadi kelaziman yang merusak Indonesia.

Di media sosial, rupanya banyak yang senang mengumbar hasutan untuk membantai orang lain hanya karena berbeda suku, agama, dan terutama ras. Belum lagi mengkait-kaitkannya dengan sentimen PKI yang sudah usang.

Seharusnya pemerintah bisa bertindak karena ada aturan hukum yang melindungi negara ini dari diskriminasi rasial. Juga, ada tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kejadian seperti Mei 1998 tidak akan terulang lagi di masa depan. Negara harus hadir memberikan perlindungan bagi setiap warga negara.

Untuk memastikan kejadian demikian tidak terulang, Forum Demokrasi Digital mengundang kawan-kawan jurnalis dan masyarakat untuk hadir dalam:

Konferensi Pers Sikap Netizen Atas Penyebaran Kebencian Rasial, Diskriminasi dan Radikalisasi di Internet
Hari Rabu, 26 Agustus 2015
Mulai pukul 15.00 WIB
Kafe Bakoel Koffie Jl. Cikini Raya No. 25

Agenda:
1. Peluncuran petisi change.org/stopkebencianrasial
2. Mendorong negara bekerja melindungi warga dari penyebaran kebencian rasial, diskriminasi dan radikalisasi di internet

Narasumber:
Ibu Ruyati Darwin (Ibu korban Mei 98)
Matahari Timoer (ICDW)
Haris Azhar (KontraS)
Nia Sjarifudin (ANBTI)

Ditunggu kehadirannya nanti, salam demokrasi digital!

Forum Demokrasi Digital
RSVP: Damar 08990066000

***

Forum Demokrasi Digital adalah forum terbuka yang berisi individu dan organisasi yang sepakat untuk memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dalam mengembangkan kehidupan demokrasi Indonesia yang lebih baik.

http://www.demokrasidigital.net
Email: forumdemokrasidigital@gmail.com
Twitter: @fordemdigital

Petisi Segera Tangani Kebencian Rasial, Diskriminasi dan Radikalisasi di Internet

Komnas HAM, Menkopolhukam, Mendikbud, Menkominfo, Komnas Perempuan, Kepolisian: Segera Tangani Penyebaran Kebencian Rasial, Diskriminasi, dan Radikalisasi di Internet

Menyebarnya kebencian rasial, diskriminasi dan/atau radikalisasi di internet, apalagi kemudian mengarah pada hasutan secara sengaja untuk melakukan pemerkosaan dan pembunuhan massal etnis Cina (Tionghoa) menandakan bahwa belum adanya pendekatan pendidikan dan advokasi nasional yang sistematis dan integral dengan UU No. 40 tahun 2008 yang mengamanatkan penghapusan segala bentuk diskriminasi berbasis ras dan etnis.

Sekaligus, tersebarnya kebencian rasial yang salah satunya khusus diarahkan kepada kelompok Cina/Tionghoa dan/atau dikaitkan dengan peristiwa Tragedi Mei 1998, merupakan bukti kegagalan negara dalam memastikan penuntasan tragedi tersebut dalam upaya agar peristiwa serupa tidak berulang kembali di masa depan.

Untuk segera menangani penyebaran kebencian rasional, diskriminasi dan radikalisasi di Internet,  lewat petisi ini bersama-sama kita:

1.     Merekomendasikan kepada Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) untuk segera melakukan pemantauan terhadap keseriusan negara, termasuk melalui peraturan nasional dan daerah, serta (tidak terbatas) pada penegakan hukum dan pendidikan, dalam memastikan upaya penghapusan kebencian rasial, diskriminasi dan radikalisasi,  termasuk di Internet dan/atau media sosial.

2.     Mendesak Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) untuk menyegerakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan dan program yang sungguh-sungguh dapat menuntaskan Tragedi Mei 1998 dan kasus pelanggaran HAM masa lalu sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi, dan berupaya menghapuskan penyebaran kebencian rasial, diskriminasi dan/atau radikalisasi.

3.     Mendesak Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikbud) untuk memasukkan muatan tentang Literasi Internet ke dalam sistem pendidikan nasional untuk memastikan peserta didik sejak dini dapat mengambil manfaat maksimal dari Internet dan meminimalisir dampak dan tindakan negatif di kemudian hari yang dapat merugikan dirinya, keluarganya, masyarakat luas ataupun negara Indonesia.

4.     Mendesak kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) untuk secara proaktif melakukan penapisan (filtering) dengan mekanisme dan prosedur yang transparan dan akuntabel agar tidak justru mengekang ekspresi yang sah (legitimate), terhadap situs ataupun konten online yang senyatanya menyebarkan kebencian rasial, diskriminasi dan radikalisasi, terutama yang hingga “menghalalkan darah” dan/atau menganjurkan pembunuhan manusia,

5.     Mendukung upaya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan dalam mengintegrasikan pemahaman tentang akar masalah dan konsekuensi Tragedi Mei 1998 dalam kurikulum pendidikan sejarah nasional dan dalam berbagai upaya memorialisasi, bekerjasama dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah.

6.     Mendukung Kepolisian Republik Indonesia untuk segera melakukan penyelidikan dan mendorong proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus pernyataan kebencian rasial, sesuai mandat UU No. 40 Tahun 2008

7.     Mengajak elemen masyarakat sipil untuk terus membangun diskusi kritis yang mendorong penghormatan atas ke-Bhinneka-an di Indonesia, serta melakukan advokasi dan pendidikan secara kolaboratif dan berjejaring menggunakan Internet / media sosial.

8.     Mengajak para pengguna Internet (netizen) Indonesia, blogger, pegiat informasi online dan praktisi media sosial untuk melakukan kegiatan advokasi dan pendidikan tentang penulisan dan/atau penyampaian informasi online secara lebih intensif agar terdapat lebih banyak muatan  online yang berkualitas dan mendapatkan atensi luas, dengan muatan khususnya yang mendorong kerukunan beragama, menghormati pluralisme dan menjunjung ke-Bhinneka-an di Indonesia.

Silakan ikut tanda tangan Petisi · Segera Tangani Penyebaran Kebencian Rasial, Diskriminasi, dan Radikalisasi di Internet via Change.org – https://www.change.org/p/komnas-ham-menkopolhukam-mendikbud-menkominfo-komnas-perempuan-kepolisian-segera-tangani-penyebaran-kebencian-rasial-diskriminasi-dan-radikalisasi-di-internet?just_created=true

Forum Demokrasi Digital Bertemu Menkominfo Rudiantara

Bertempat di Garden Terrace, Four Season Hotel, Jakarta, pada 29 Oktober 2014 sekitar 21:00 – 22:30 WIB diadakan pertemuan antara Forum Demokrasi Digital, sebuah forum yang fokus kerja pada pelaksanaan hak berpolitik di dunia digital, dengan Menkominfo Kabinet Kerja Bapak Rudiantara.

Dalam pertemuan informal ini, sejumlah isu diajukan ke Menkominfo yang diharapkan bisa menjadi prioritas apa yang segera akan dikerjakan dalam waktu dekat ini. Desakan merevisi UU ITE, menyeimbangkan USO dan kualitas pengguna, penyampaian inisiatif dan koreksi lewat internet, pelibatan perpustakaan dan perbaikan penyiaran diungkapkan oleh lebih dari 20 pegiat Internet dan penyiaran yang duduk dalam Forum Demokrasi Digital.

(more…)

Chilling Effect, Hukuman Berlipat Ganda | Opini Bersihar Lubis

Ahmad Taufik dihukum pengadilan gara-gara tulisannya di Majalah TEMPO, lima tahun silam. Hari-hari berikutnya, “hukuman tambahan” pun berjatuhan mendera wartawan TEMPO ini. “Saya diteror orang melalui SMS (short message service),” kata pria berbaju batik itu saat bersaksi di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), pekan terakhir Juli 2008 silam. Jika hendak menulis? “Saya trauma, takut kalau diperkarakan lagi,” tambahnya di depan majelis MK diketuai oleh Jimly Asshidiqie itu. Banyak pula sumber berita yang menolak diinterview Taufik karena khawatir kasus serupa terulang.

Pengalaman Taufik yang dihukum hakim karena dianggap mencemarkan nama baik seorang pengusaha besar itu, mengutip Toby Mendel disebut sebagai “chilling effect.” Menurut, Yenti Ganarsih, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, kira-kira maksudnya “obatnya terlalu jahat dibanding penyakitnya.” Sudah jatuh ditimpa tangga pula.

(more…)

Dilema Netizen di Indonesia: Pilih Partisipasi Atau Penjara | Opini @DamarJuniarto

Di satu sisi, internet dipercaya dapat meningkatkan partisipasi warga dalam mengawal pemerintahan secara demokratis, di sisi lain pemerintah risau ingin membatasi tingkah laku netizen dengan ancaman penjara.

IMG_4583.JPG

PESTA demokrasi Indonesia 2014 memasuki zaman baru. Masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal the silent majority akibat dari kebijakan the floating mass sejak zaman Orde Baru – ditandai dengan rendahnya level partisipasi politik karena jargon “politik no, pembangunan yes”– tiba-tiba berubah. Lanskap politik yang tadinya sunyi sepi, tiba-tiba tersegmentasi menjadi dua kubu pendukung calon presiden yang berseberangan. Yang juga berbeda, lanskap politik diwarnai dengan masifnya penggunaan media sosial dan pemanfaatan teknologi internet oleh netizen di Indonesia untuk terlibat dalam situasi politik.

Politik yang dulunya tabu dibicarakan menjadi hal yang lazim dibicarakan di ruang privat, publik, bahkan di media sosial. Kritik-kritik bahkan juga fitnah kerap dilontarkan, baik kepada figur calon presiden, para pendukung calon presiden, atas jalannya pemerintahan sekarang, maupun kebijakan yang pernah dan akan diambil. Bukan hanya itu, bahkan netizen memiliki peran baru sebagai “pengawal” jalannya pemilu lewat sejumlah inisiatif teknologi internet. Ambil contoh, inisiatif Ainun Najib dan kawan-kawan lewat kawalpemilu.org sehingga netizen bisa terlibat sebagai pemeriksa berkas-berkas pemilu untuk menghindari kecurangan.

Peningkatan peran netizen juga bisa ditandai dengan keterlibatan mereka menjadi buzzer atau juru bicara kandidat calon presiden, baik dibayar maupun sukarela. Inisiatif terkini partisipasi netizen juga hadir lewat polling center “Kabinet Alternatif Usulan Rakyat“ yang diadakan Radio Jokowi dan Jokowi Center untuk memudahkan netizen mengusung nama menteri favorit mereka kepada presiden terpilih. Berbagai hal tersebut menunjukkan: internet bukan lagi sekadar menyalurkan aspirasi, namun juga internet dapat membantu netizen untuk berpartisipasi dalam agenda-agenda demokrasi.

(more…)

Arah Tata-Kelola Internet Indonesia: Censorship, Surveillance, Defamation? | Opini @donnybu

Pengantar:
Pada 3 Desember 2013, Donny BU menulis opini Arah Tata-Kelola Internet Indonesia: Censorship, Surveillance, Defamation? untuk mendorong sebuah diskusi tentang bagaimana sebaiknya internet di Indonesia dikelola.

————————————

Arah Tata-Kelola Internet Indonesia: Censorship, Surveillance, Defamation?

Dalam pengantar laporan tertulis kepada PBB yang ditulis oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekpresi, Frank La Rue, September 2013, dikatakan bahwa hambatan terhadap akses ke informasi dapat berpengaruh pada sejumlah hak mendasar, seperti hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tanpa akses ke informasi yang memadai, maka gagasan akan transparansi, akuntabilitas pejabat publik, pemberantasan korupsi ataupun partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan, tidak akan pernah terwujud. Padahal, sebagaimana ditekankan oleh La Rue, sejumlah hal tersebut adalah persyaratan inti bagi pemerintahan yang demokratis.

Adapun peran Internet, pada laporan La Rue, Juni 2011, diyakini dapat menjadi medium yang memungkinkan terjadinya partisipasi publik dalam kerangka penyediaan informasi yang obyektif, khususnya di negara yang industri medianya tak independen. Dan memang, untuk di Indonesia jelas bahwa industri medianya berporos pada profit dan kekuasaan, serta memandang pemirsanya hanya sebagai konsumen belaka.

Di sisi lain, karakter Internet yang berlandaskan pada kecepatan dan jangkauan pendistribusian informasi, telah menimbulkan kerisauan bagi sejumlah pemerintah di berbagai negara. Masih tulis La Rue, kerisauan pemerintah tersebut kemudian termanifestasi dalam berbagai tindakan untuk memblokir konten, memata-matai (surveillance) dan mengidentifikasi aktifis dan mengkriminalisasi pendapat atau ekspresi yang sah. Dan pemerintah yang risau tersebut kemudian akan melansir regulasi dan/atau aturan pembatasan untuk melegitimasi tindakan-tindakan tersebut.

(more…)